Sebelumnya saya pernah
menulis tentang Tuhan, Cinta dan Lesbian Bersuami dalam blog ini, dan sekarang
sedikit melanjutkan pembicaraan tentang para lesbian yang bersuami ini.
Baru-baru ini rasanya
gatal sekali tangan saya ingin menuliskan pesoalan ini, melihat fenomena bahwa para
perempuan lesbian yang sudah menikah itu masih saja sibuk mencari pacar
perempuan untuk dirinya di media sosial. Jika di tanya, tentu alasan mereka
tidak berbeda jauh, hatinya tidak bisa dibohongi, ia tidak mencintai suaminya
dan blab la blaa segudang alasan lainnya.
Kita sama-sama tentu
tahu bagaimana para perempuan ini hebat sekali dalam mencari-cari alasan demi
membenarkan apa yang menurutnya benar. Padahal, andai saja ia mau melihat dari
sudut pandang yang lain ia seharusnya malu dengan apa yang ia lakukan.
Pernikahan itu bukan
sebuah permainan, hanya menjadi alasan untuk menutupi kelesbianan atau pun
sekedar untuk melarikan diri ketika merasa patah hati. Pernikahan itu jauh
lebih agung dan perihal ini tentu tidak hanya sekedar tentang sang pengantin
wanita saja. Pernikahan itu menggabungkan antara kedua belah pihak keluarga, si
pria maupun wanita. Apakah mereka pernah berfikir tentang bagaimana perasaan
orang lain jika melihat kelakuan mereka seperti itu?
Lesbian ini menikahi
seorang laki-laki yang tentunya menurutnya adalah lelaki terbaik untuk di
nikahi, entah itu maksudnya terbaik karena akan lebih mudah dibodohi ataupun
memang sungguh terbaik untuk menjadi pemimpin dalam rumah tangga mereka,
seharusnya. Bayangkan perasaan para lelaki baik itu, terlepas dari mereka tahu
atau tidak dengan kelesbianan istri mereka tetap saja jika seorang istri masih
saja sibuk mencari cinta ataupun kasih sayang dari luar artinya pernikahan
mereka gagal. Ia telah menghianati penikahannya, menghianati sumpahnya kepada
Allah, menghianati kedua belah pihak keluarga, terlebih menghianati suaminya.
Jika melayani suami
merupakan kewajiban seorang istri, lantas bagaimana kewajiban si lesbian
bersuami ini dalam melayani suaminya? Bayangkan, ketika sang suami mengajaknya
berhubungan badan, menyentuhnya, merangsang seluruh tubuhnya agar berkontraksi
memberikan layanan kepada suaminya. Omong kosong ketika ada seseorang
mengatakan bahwa perempuan lesbian tidak bisa berhubungan seks dengan lelaki. Omong
kosong, karena si perempuan hanya menjadi tempat untuk pelabuhan sperma dalam
berhubungan intim, sebagai sarang. Mungkin jika lelaki gay bisa saja ia tidak
berkontraksi maka tidak akan terjadi hubungan seks dengan si perempuan, namun
jika hanya si perempuan yang lesbian, ini hanya perkara klise.
Bukan masalah si
perempuan bisa menikmati seks dengan suaminya atau tidak. Tentu jika di tanya
salah satu alasan mereka pasti ini, kecuali mereka biseksual. Namun jika mereka
sudah tahu sejak awal bahwa mereka tidak bisa merasakan apapun dengan lelaki
mengapa mereka mau menikah? Bukankah itu artinya dia juga ingin menyakiti si
lelaki dengan keinginannya tersebut.
Benar memang terkadang
ada juga para lesbian yag tidak memiliki pilihan lain selain menikah, ada
banyak juga yang demikian. Jika memang itu hanya satu-satunya jalan yang bisa
ia lakukan setidanya ia tidak perlu sibuk mencari kekasih lain hanya untuk memenuhi
nafsunya. Toh jika tidak memeiliki pasangan lesbian juga tidak akan mati, ia
harusnya mengingat bagaimana ia berjanji dalam pernikahannya.
Sakit rasanya melihat
perempuan bersuami ini sibuk menebar pesonanya kepada para lesbian lain, sibuk
berpacaran atau bermesraan di media sosial. Mereka tidak ingat ada suami yang
mereka khianati di rumahnya, ada kelaurga yang ia dustakan. Apalagi jika sampai
ia benar berhubungan dengan perempuan lain, mencuri-curi waktu dari suaminya,
membagi kasih dengan perempuan lain. Tidak terpuaskan birahinya dengan suami mungkin,
kemudian meniduri perempuan lain.
Saya juga memiliki beberapa
teman-teman lesbian yang sudah menikah, yang tidak sibuk mencari kekasih lain
selain suaminya, yang sudah memiliki anak bahkan beberapa anak, namun tetap
berhubungan baik dengan suaminya, tetap menjadi istri sebagaimana mestinya. Justru
saya salute dengan pengorbanan
mereka, bagaimana mereka membunuh ego mereka, meniadakan ke akuan pada diri
mereka sebab masih banyak hal yang harus ia lakukan yang tidak hanya seputar
menuntut kebahagiaan untuk dirinya sendiri. Bukankah manusia itu bermakna
ketika ia berguna bagi orang lain? Lantas mengapa kita hanya memikirkan diri
sendiri, egoisme sempit yang tidak akan membawa kita kemana-mana.
Mengapa mereka tidak
mencoba menikmati pernikahan mereka, mencoba menyibukkan diri dengan mempunyai
anak mungkin atau mengurus rumah tangganya dengan baik. Rasanya pasti akan
banyak kerjaan di rumah yang butuh perhatian ketika sudah menikah, memasak,
membersihkan rumah, bertetangga atau apa saja selain sibuk mencari kasih sayang
di luar rumah.
Entahlah sejauh apa hubungan
yang ingin mereka jalani, apakah akhirnya setelah ia mencoba-coba menikah maka
ia merasa tidak cocok sebab tidak bisa mencintai suaminya maka ia akan
bercerai, ataukah ia tetap menikah namun tetap juga berhubungan dengan kekasih
lesbiannya.
Saya tidak akan
menyalahkan siapa-siapa, sebab jika seseorang sudah menikah artinya mereka
seharusnya sudah memiliki pikiran yang matang dan tentu sudah dewasa. Artinya tentu
memiliki pikiran yang waras dan akan memiliki seribu alasan untuk membenarkan
pendapatnya.
Dan saya bukan hanya
melihat fenomena yang terjadi kemudian menuliskan apa yang terpikirkan di
kepala saya, karena pasti masih banyak sebab-sebab lain yang saya tidak paham
sebab bukan saya yang mengalami kejadian langsung seperti para lesbian bersuami
ini. Saya hanya penonton yang mengkritisi ataupun menanggapi sebuah realita
yang ada.
Lullaby, Delapan Tiga
Limabelas.